Jawa Timur, indonesiatodays.net – Seorang dosen asal Singapura yang telah tinggal di Indonesia selama 12 tahun dengan menggunakan identitas KTP Indonesia secara tidak resmi akhirnya dideportasi ke negara asalnya. Deportasi tersebut dilakukan oleh Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Jawa Timur melalui Kantor Imigrasi Kelas II Blitar, setelah dosen tersebut melanggar Pasal 119 Ayat 1 UU Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian dengan berada di wilayah Indonesia tanpa memiliki dokumen perjalanan dan visa yang sah serta masih berlaku.
Proses deportasi dilakukan pada hari Kamis, 22 Juni 2023, pukul 10.30 WIB melalui Terminal 2 Bandara Internasional Juanda. Dosen berusia 66 tahun tersebut dikawal oleh empat petugas imigrasi Blitar sambil membawa tas ransel berwarna coklat.
“Hari ini yang bersangkutan dideportasi menggunakan penerbangan dengan maskapai Jetstar 3K248 menuju Singapura pada pukul 13.20,” ujar Hendro Tris Prasetyo, Kepala Divisi Keimigrasian Kantor Wilayah Kemenkumham Jawa Timur.
Hendro menjelaskan bahwa seluruh proses deportasi telah dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan prosedur operasional standar yang berlaku. Biaya tiket pesawat untuk deportasi tersebut ditanggung oleh sponsor atau pribadi dari dosen WNA tersebut.
Dendy Wibisono, Kepala Subseksi Penindakan Keimigrasian yang memimpin tim pelaksanaan deportasi dari Kantor Imigrasi Kelas II Non-TPI Blitar, menyatakan bahwa proses deportasi berjalan lancar.
“Dosen WNA tersebut membiayai sendiri tiket pulang ke Singapura, kami hanya mengantarnya hingga Bandara Internasional Juanda,” ujar Dendy.
Sebelum dideportasi, dosen WNA tersebut melewati proses pemeriksaan di Tempat Pemeriksaan Imigrasi Bandara Juanda untuk memastikan keabsahan dokumen perjalanan yang dimilikinya.
“Jadi, meskipun statusnya sebagai deportee, dosen WNA tersebut tetap harus melewati proses pemeriksaan. Proses pemeriksaan hingga proses boarding berjalan lancar tanpa ada kendala,” tambah Dendy.
Dendy juga menyebut bahwa dosen WNA tersebut dalam kondisi sehat sebelum dideportasi, meskipun mengeluh meriang. “Sebelum berangkat dari Blitar, kami juga telah memastikan bahwa dosen WNA tersebut dalam kondisi sehat dan mampu melakukan perjalanan ke Singapura,” tutur Dendy.
Diketahui bahwa dosen WNA tersebut telah tinggal di Indonesia sejak tahun 1984 dengan tujuan untuk mengejar pendidikan. Ia menempuh pendidikan sarjana di wilayah Malang dan lulus sekitar tahun 2006. Arief Yudistira, Kepala Kantor Imigrasi Kelas II Non-TPI Blitar, menjelaskan bahwa dosen WNA tersebut baru memperoleh dokumen kependudukan Indonesia pada tahun 2011, termasuk KTP, kartu keluarga, dan akta lahir.
“KTP yang digunakan menggunakan inisial ‘Y’, lahir di Pacitan pada tahun 1973. Ini merupakan pergeseran identitas dari identitas aslinya yang tercantum dalam paspor Singapura,” jelas Arief.
Arief juga menjelaskan bahwa di paspor Singapura tersebut terdapat keterangan mengenai tempat kelahiran yang mirip dengan Pacitan, yaitu Kampong Pachitan di sekitar Changi Rd S’pore.
Selain itu, dosen WNA tersebut sempat menikah dengan warga lokal di Blitar dan bekerja sebagai tenaga pendidik atau dosen di salah satu kampus di Kabupaten Tulungagung.
Arief menyebutkan bahwa keberadaan WNA asal Singapura ini tidak terdeteksi oleh aparat selama cukup lama karena pada saat itu pendataan dokumen keimigrasian masih menggunakan metode konvensional. Hal ini memungkinkan warga asing tersebut untuk beraktivitas tanpa dilengkapi dokumen resmi.
“Kami telah mengkonfirmasi hal ini kepada Kedutaan Singapura, dan dari pihak kedutaan terkonfirmasi bahwa yang bersangkutan masih tercatat sebagai warga Singapura. Kami juga telah memeriksa Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum, dan ternyata dosen WNA tersebut tidak pernah mengajukan perubahan status menjadi Warga Negara Indonesia,” ungkapnya.