TRENGGALEK – Keputusan Bupati Trenggalek menunjuk Edi Santoso sebagai komisaris PT Jwalita Energi Trenggalek (PT JET) kembali memunculkan pertanyaan mendasar: apakah Kabupaten Trenggalek mengalami krisis sumber daya manusia berkualitas?
Pasalnya, dengan penunjukan ini, Edi kini merangkap tiga jabatan sekaligus: Kepala DPMPTSP, Plt Kepala Disparbud, dan Komisaris PT JET. Kondisi ini menimbulkan keraguan serius terhadap efektivitas tata kelola pemerintahan dan BUMD di Trenggalek.
Konsentrasi Kekuasaan yang Mengkhawatirkan Penumpukan jabatan pada satu orang ini bukan hanya melanggar prinsip checks and balances, tetapi juga berpotensi menciptakan konflik kepentingan. Bagaimana mungkin seorang Kepala DPMPTSP yang tugasnya melayani investasi dan perizinan dapat secara objektif mengawasi PT JET sebagai komisaris?
Lebih mengkhawatirkan lagi, Edi juga masih menjabat sebagai Plt Kepala Disparbud. Artinya, tiga sektor strategis, investasi, pariwisata, dan energi-berada di bawah kendali satu orang. Ini bukan efisiensi, melainkan monopoli kekuasaan yang berbahaya.
Seleksi “Ketat” yang Dipertanyakan Meski pihak Pemkab mengklaim proses seleksi berjalan ketat dengan melibatkan empat kandidat, faktanya tetap berujung pada penunjukan pejabat yang sudah overload. Pertanyaannya: apakah tiga kandidat lain benar-benar tidak kompeten, atau justru sistem seleksi yang bermasalah?
Asisten Perekonomian Cusi Kurniawati menyebut Edi “unggul dengan skor tertinggi.” Namun, skor tinggi dalam tes tidak otomatis menjamin kemampuan menjalankan tiga jabatan strategis secara optimal dan tanpa konflik kepentingan.
PT JET: BUMD Bermasalah Butuh Pengawasan Independen PT JET sendiri bukan perusahaan biasa-biasa saja. BUMD ini kerap menjadi sorotan DPRD dan kehilangan kepercayaan publik. Dalam kondisi seperti ini, PT JET justru membutuhkan komisaris yang independen dan fokus penuh, bukan pejabat yang sudah sibuk dengan dua jabatan lain.
Bagaimana Edi bisa mengawasi PT JET secara efektif sementara ia harus menangani urusan investasi daerah di DPMPTSP dan pengembangan pariwisata di Disparbud? Ini bukan superhero, ini adalah kegagalan sistem.
Penyertaan Modal: Tambal Sulam yang Terlambat Rencana penyertaan modal senilai Rp1 miliar untuk pembelian dispenser menunjukkan betapa minimnya perhatian serius terhadap PT JET. Nominal yang kecil, jenis investasi yang tidak strategis, dan penundaan hingga 2027 mencerminkan tidak adanya visi jangka panjang untuk menyelamatkan BUMD ini.
Saatnya Introspeksi Keputusan ini mengungkap masalah sistemik di Trenggalek: ketergantungan berlebihan pada individu tertentu dan minimnya kaderisasi SDM berkualitas. Jika hanya satu orang yang dianggap mampu menangani tiga jabatan strategis, maka ada yang salah dengan sistem pengembangan SDM di daerah ini.
Publik Trenggalek berhak menuntut jawaban: mengapa tidak ada upaya serius mencari dan mengembangkan SDM baru? Mengapa harus selalu mengandalkan “orang yang sama” untuk posisi-posisi kunci?
Penunjukan Edi Santoso sebagai komisaris PT JET bukan solusi, melainkan gejala dari krisis SDM yang lebih dalam di Trenggalek. Saatnya Pemkab berani mengakui masalah ini dan mulai membangun sistem yang lebih sehat, transparan, dan berkelanjutan.
Trenggalek butuh banyak Edi Santoso, bukan satu Edi Santoso untuk banyak jabatan. (ji/red)