TRENGGALEK – Di sebuah kamar sempit di lantai bawah Pondok Pesantren Ar-Ridwan, seorang anak berusia 13 tahun terbaring kesakitan. Z, sapaan akrabnya, merintih menaha sakit perut yang tak kunjung reda. Dua hari berlalu, sang bocah yang mestinya belajar mengaji malah harus berjuang melawan penyakit yang menggerogoti tubuh mungilnya.
Kini, Z telah tiada. Keluarga dari Desa Semurup, Kecamatan Bendungan, kehilangan buah hati mereka selamanya.
Detik-Detik Terakhir yang Menyakitkan
Kronologi yang dirilis Kementerian Agama Trenggalek mengungkap betapa menyakitkannya hari-hari terakhir Z. Pada 30 Agustus 2025, bocah malang ini mulai mengalami diare berulang. Tubuhnya lemas, perut terasa melilit. Pengurus pesantren memindahkannya ke kamar lantai bawah, sebuah langkah yang ternyata terlambat untuk menyelamatkan nyawanya.
Sehari kemudian, kondisi Z memburuk drastis. Barulah pesantren panik dan menghubungi orang tuanya. Bayangkan perasaan sang ayah dan ibu yang menerima telepon bahwa anak kesayangan mereka sakit parah di tempat yang seharusnya menjadi rumah kedua.
Di rumah sakit, vonis dokter bagaikan petir di siang bolong: usus buntu akut. Operasi darurat dilakukan pada 2 September, namun Tuhan berkehendak lain. Pada 3 September 2025, Z menghembuskan napas terakhir, meninggalkan duka mendalam bagi keluarga yang menitipkannya untuk menimba ilmu agama.
“Kami Sudah Berusaha,” Kata Pihak Pesantren
Petugas klinik pesantren, Linda Puspita Sari, mengaku telah memberikan obat diare dan menyarankan membawa ke rumah sakit. Namun pertanyaan menggantung: mengapa baru setelah kondisi memburuk, bukan sejak gejala pertama muncul?
Kepala Kemenag Trenggalek, Nur Ibadi, berusaha menenangkan dengan pernyataan bahwa ini “murni musibah medis, bukan penganiayaan atau bullying.” Tapi bagi keluarga Z, apakah kata-kata itu cukup mengobati luka kehilangan?
Tragedi ini telanjur memicu pertanyaan keras tentang kesiapan pesantren dalam menjaga kesehatan santri.
Empat Rekomendasi Kemenag:
Pertama, calon santri wajib menyerahkan riwayat kesehatan lengkap. Sebuah langkah yang seharusnya sudah menjadi standar sejak lama.
Kedua, klinik pesantren harus memiliki tenaga medis profesional 24 jam. Namun tentu muncul pertanyaannya: berapa banyak pesantren yang mampu memenuhi ini?
Ketiga, SOP penanganan santri sakit harus jelas dan tegas. Tidak boleh lagi ada kebingungan kapan seorang santri harus segera dibawa ke rumah sakit.
Keempat, koordinasi dengan fasilitas kesehatan terdekat harus diperkuat. Nyawa santri tidak boleh menjadi korban birokrasi.
Pertanyaan yang Menghantui
“Sebagian besar pesantren di Trenggalek sudah memiliki Poskestren,” klaim Nur Ibadi. Namun jika fasilitasnya sudah ada, mengapa Z harus meninggal? Apakah ini soal kompetensi petugas kesehatan? Ataukah keterlambatan dalam mengambil keputusan kritis?
Yang lebih menyakitkan, Ibadi mengakui “keterbukaan antara orang tua dan pengelola pondok masih kurang.” Ini berarti selama ini, pesantren menerima santri tanpa mengetahui kondisi kesehatan mereka secara detail. Bukankah ini mengabaikan tanggung jawab terhadap nyawa anak-anak yang dititipkan?
Janji yang Terlambat
“Pesantren harus aman, sehat, dan mampu memberikan pelayanan terbaik bagi para santri,” demikian janji Nur Ibadi. Kata-kata yang terdengar mulia, namun datang setelah seorang anak kehilangan nyawanya.
Kemenag berjanji akan terus mendorong implementasi Perdirjen Pendis Nomor 4837 Tahun 2022 tentang pola hidup sehat di pesantren. Regulasi yang ada sejak 2022, namun baru serius ditegakkan setelah ada yang meninggal.
Untuk Z dan Ribuan Santri Lainnya
Z tidak akan pernah kembali. Impiannya menjadi hafiz Quran telah sirna bersama napas terakhirnya. Yang tersisa hanyalah duka keluarga dan pertanyaan besar: berapa banyak lagi “Z” lainnya yang terancam karena sistem kesehatan pesantren yang tidak memadai?
Tragedi ini seharusnya menjadi titik balik. Tidak boleh ada lagi orang tua yang menitipkan anak dengan penuh harap, namun menerima kembali jenazah. Tidak boleh ada lagi pesantren yang menganggap remeh kesehatan santri.
Untuk Z, dan ribuan santri di seluruh Indonesia, perubahan mendasar harus dimulai hari ini. Sebelum terlambat. (ji/red)