Dari Arena Pertarungan Menjadi Panggung Persaudaraan
TRENGGALEK – Di tengah derasnya arus modernisasi yang menggerus nilai-nilai tradisional, sekelompok pemuda di Dukuh Jongke, Desa Sukorame justru memilih jalan berbeda. Mereka menghidupkan kembali seni budaya tiban, sebuah pertunjukan tradisional yang menggabungkan unsur permainan, kompetisi, dan filosofi kehidupan Jawa yang mendalam.
Festival tiban yang digelar oleh Paguyuban Tiban Gajah Putih ini bukan sekadar pertunjukan biasa. Di balik dentuman cambuk dan teriakan semangat, tersimpan makna persatuan yang justru lahir dari perbedaan dan persaingan.
Persaingan yang Menyatukan: 20 Paguyuban dari 3 Daerah
Yang memukau dari festival ini adalah partisipasi masif dari berbagai daerah. Dari timur, delegasi Kabupaten Blitar menghadirkan 4 grup unggulan termasuk Sawentar dan Guyub Rukun Pojok. Tulungagung mengirimkan trio andalan: Cokro Baskoro, Tukar Kawruh, dan Satria Pecut.
Tak mau kalah, tuan rumah Trenggalek memobilisasi 10 paguyuban lokalnya, dari Laskar Trenggalek hingga Sabuk Alu Prambon. Total 20 kelompok yang berkumpul bukan untuk saling menjatuhkan, melainkan untuk saling mengasah kemampuan dalam bingkai persaudaraan.
“Inilah yang menarik dari tiban,” ujar Kethut Ketua Paguyuban Gajah Putih. “Di atas panggung kami bertarung dengan cambuk, tapi di bawah panggung kami ngopi bareng.
Filosofi Jawa mengajarkan: ‘walaupun di atas pecut-pecutan ujung, ucul klambi ning lek wis di bawah kelamben lagi dadi siji’: meski saling pukul dengan cambuk di atas, tapi setelah pertunjukan kembali bersatu.” tuturnya
Inovasi Keselamatan: Melawan Stigma Negatif
Kritik terhadap tiban selama ini seputar risiko perkelahian dan cedera. Namun, generasi muda Jongke membuktikan bahwa tradisi bisa dilestarikan dengan cara yang lebih aman dan beradab.
Mereka menggunakan helm pelindung untuk mencegah cedera serius akibat cambukan yang salah sasaran. Panggung juga didesain khusus untuk memisahkan penonton dengan pemain, meminimalir potensi bentrokan antar suporter.
“Filosofi tiban itu sebenarnya sangat damai,” jelas sang ketua. “Belum pernah ada perkelahian serius yang menimbulkan dendam berkepanjangan.
Nilai persaudaraan dalam budaya ini sangat tinggi. Kalau ada kesalahan, permintaan maaf selalu tulus dari hati.”
Dukungan Pemerintah: Dari Gerakan Grassroot Menuju Program Resmi
Kesuksesan festival ini tidak luput dari perhatian pemerintah daerah. Sukarudin, anggota DPRD Kabupaten Trenggalek, memberikan dukungan penuh untuk menjadikan festival tiban sebagai agenda tahunan resmi.
“Alhamdulillah, baru tahun ini kami mendapat respon positif dari Pak Sukarudin dan Mas Pur Ledeng yang telah menjembatani kami ke Dinas Pariwisata dan Dinas Pemuda dan Olahraga,” ungkap sang ketua dengan penuh syukur.
Untuk tahun depan, paguyuban tengah berkoordinasi intensif agar kegiatan ini dapat masuk dalam anggaran program kegiatan kabupaten secara resmi. Sebuah pencapaian luar biasa untuk sebuah gerakan yang dimulai dari inisiatif pemuda desa.
Pelajaran Berharga: Tradisi sebagai Pemersatu Bangsa
Festival Tiban Jongke memberikan pelajaran mendalam tentang kekuatan tradisi sebagai perekat sosial. Di era polarisasi dan perpecahan, pertunjukan ini membuktikan bahwa kompetisi dan perbedaan justru bisa menjadi jembatan persaudaraan jika dikelola dengan nilai-nilai luhur.
Lebih dari itu, festival ini menunjukkan bahwa generasi muda tidak hanya mampu melestarikan tradisi, tapi juga berinovasi membuatnya lebih relevan dan berkelanjutan. Mereka membuktikan bahwa budaya tradisional bukan penghalang kemajuan, melainkan fondasi karakter bangsa yang kokoh.
Refleksi untuk Indonesia
Keberhasilan Festival Tiban Jongke menjadi cermin bagi daerah lain di Indonesia. Dengan 17.000 pulau dan ratusan suku, Indonesia memiliki kekayaan budaya yang luar biasa. Namun, tanpa upaya pelestarian yang kreatif dan berkelanjutan, warisan nenek moyang ini bisa punah termakan zaman.
Inisiatif pemuda Jongke membuktikan bahwa pelestarian budaya tidak membutuhkan anggaran besar atau program megah. Yang dibutuhkan adalah tekad, kreativitas, dan kemampuan mengemas tradisi dalam format yang menarik bagi generasi masa kini.
Ketika cambuk bertemu dalam arena tiban, yang tercipta bukan luka atau dendam, melainkan persaudaraan yang semakin erat. Itulah Indonesia yang sesungguhnya, bersatu dalam keberagaman, kuat dalam perbedaan.
“Festival Tiban Jongke bukan hanya tentang melestarikan seni cambuk tradisional, tapi tentang membangun karakter bangsa yang mampu bertarung dengan sportif dan bersatu dalam harmoni. Sebuah pelajaran berharga untuk Indonesia yang sedang mencari jati dirinya di tengah arus globalisasi”. (ji/red)