INDONESIATODAYS.net – Pilkada Trenggalek tahun 2024, Calon Tunggal melawan kolom kosong jadi sorotan berbagai kalangan. Tak terkecuali pernyataan yang dilontarkannya Mas Syah (calon wakil bupati Trenggalek) mempertanyakan masyarakat Trenggalek jika memenangkan kotak kosong “apakah warga ingin memilih bupati gaib?” hal itu ia ungkapkan pasca mencuatnya relawan bumbung kosong atau kotak kosong.
Pernyataan Mas Syah tersebut mendapatkan tanggapan dari beberapa pihak baik secara positif dan negatif.
Kolom kosong bukanlah peserta pemilu dalam arti sebenarnya, melainkan ruang yang diberikan kepada pemilih sebagai alternatif jika mereka tidak ingin memilih calon tunggal. Jadi, secara teknis kolom kosong tidak dianggap sebagai peserta pilkada seperti layaknya pasangan calon yang sah.
Kotak kosong itu tak bisa berbuat apa-apa, dalam kontestasi. Sekalipun jika kolom kosong dapat suara, tidak akan bisa dikonversi jadi kursi jabatan dalam hal ini posisi sebagai Gubernur maupun Bupati.
Fenomena kotak kosong dalam pilkada ini bisa dilihat dari dua sisi.
Pertama, trend kotak kosong berdampak buruk pada masa depan demokrasi di Indonesia karena dengan adanya kotak kosong memperlihatkan minimnya kompetisi dan transparansi dalam pelaksanaan pilkada, kondisi ini menjadikan masyarakat tidak punya pilihan yang ideal dalam memilih pemimpin di daerah.
Fenomena ini juga mencerminkan kegagalan sistem demokrasi yang sejatinya menghadirkan pilihan beragam bagi masyarakat dalam pilkada. Demokrasi mestinya dipahami bukan hanya sebagai prosedural semata, melainkan sebuah sistem yang menjamin adanya kompetisi yang sehat dan adil. Fenomena kotak kosong bukan hanya soal teknis politik, melainkan juga soal masa depan demokrasi Indonesia.
Pilkada secara langsung di Indonesia merupakan salah satu hasil dari perjuangan panjang amanat reformasi. Proses demokratis yang telah diperjuangkan dengan biaya mahal dan penuh tantangan kini terancam ‘dimanipulasi’ oleh elite politik dengan cara memborong dukungan partai-partai politik atas nama koalisi. Dan perlu kita ketahui bahwa demokrasi tercermin dalam aspek kompetisi, partisipasi, serta kebebasan masyarakat dalam menentukan pilihan dalam kontestasi politik termasuk kesempatan untuk menerima maupun menolak orang yang akan menjadi pemimpin dalam suatu daerah.
Jadi ada indikasi bahwa para politikus hanya memikirkan kepentingan-kepentingan pragmatis semata hanya untuk mendapatkan suara terbanyak dalam pilkada, bukan mengarah pada Pendidikan politik dalam membangun demokrasi itu sendiri.
Kedua, kotak kosong mencerminkan dinamika politik yang kompleks, dimana partai-partai besar bersatu dalam satu koalisi sehingga hanya sedikit ruang bagi calon lain untuk maju, partai politik besar berkoalisi menguasai perpolitikan di tingkat lokal. Namun sesungguhnya di sisi lain juga memperlihatkan keterbatasan partai politik dalam mempersiapkan kader-kader partai yang berkualitas untuk bersaing dalam pilkada.
Partai politik juga dianggap enggan untuk mencalonkan figur yang dianggap tidak memiliki peluang menang, dan masalah lainnya juga berpengaruhnya hasil pemilu nasional terhadap keputusan partai politik di tingkat daerah dengan memilih mendukung calon dengan peluang menang lebih besar (popularitas) dibandingkan dengan mencalonkan kader partai sendiri.
Pilkada yang diharapkan menjadi pintu masuk bagi munculnya kepemimpinan berkualitas di daerah kini sedikit-sedikit mulai berubah menjadi permainan kekuasaan yang kental dengan pragmatisme dengan mengabaikan prinsip-prinsip etik dan moral demi mencapai tujuan kemenangan. Kotak kosong bisa dimanfaatkan sebagai alat untuk menjaga status quo kekuasaan yang ada dengan memastikan tak ada pesaing serius yang muncul atau kalaupun ada calon lain yang muncul itu hanya semata-mata sebagai calon ‘boneka’ saja.
Dampak Fenomena Kotak Kosong terhadap Demokrasi
Trend kotak kosong tentu saja akan berdampak terhadap perkembangan demokrasi di Indonesia, ada berapa dampak yang akan ditimbulkan dalam fenomena kotak kosong ini:
Pertama, mengurangi kualitas dari demokrasi itu sendiri. Dengan calon tunggal masyarakat tidak memiliki pilihan dalam memilih pemimpin di daerah, kondisi ini memaksa masyarakat memilih pasangan calon yang ada atau justru mereka akan memilih kotak kosong. Kalau pilihannya adalah kotak kosong ini mendindikasikan bahwa masyarakat tidak percaya dengan pasangan calon yang ada. Gerakan perlawanan konstitusional atas kehadiran calon tunggal bisa dilakukan oleh masyarakat hanya dengan memilih kolom kotak kosong pada surat suara.
Kedua,menurunya tingkat partisipasi dalam pemilih. Masyarakat akan malas datang ke TPS untuk menggunakan hak pilihnya, karena terbatasnya pilihan yang ada, apalagi ada indikasi bahwa calon tunggal tersebut dianggap sebagai calon yang pro status quo dengan partai pengusung yang pro dengan rezim yang berkuasa, masyarakat akan menganggap suara mereka sia-sia, karena calon yang menang sudah ditentukan dengan proses yang ‘dimanipulasi’, dengan kondisi ini tentu saja pilihan masyarakat tidak akan datang ke TPS untuk memberikan suara mereka.
Semakin rendah tingkat partisipasi mengindikasikan legitimasi pemimpin yang terpilih juga rendah dan ketika legitimasi pemerintah terpilih rendah, masyarakat akan cenderung tidak peduli dengan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahan, keterlibatan masyarakat menjadi rendah dalam mengontrol jalannya pemerintahan, ini akan melahirkan pemimpin yang otoriter dan tanpa kontrol di daerah.
Ketiga, memperkuat oligarki partai politik. Dengan alasan koalisi untuk kepentingan bersama, partai-partai besar bisa mengontrol dan mengendalikan proses pencalonan sehingga elite partai politik bisa mempertahankan kekuasaan dan menghindari calon-calon potensial dalam pilkada. Di samping itu, kaderisasi partai politik juga menunjukkan tidak berjalan dengan maksimal, karena partai politik lebih melihat calon yang tingkat popularitas tinggi dan memiliki modal sosial, politik dan ekonomi yang tinggi dalam mengikuti kontestasi dalam pilkada.
Antisipasi fenomena kotak kosong ke depan yaitu:
Pertama menurunkan persentase syarat minimal dukungan bagi calon perseorangan, karena syarat dukungan untuk maju melalui partai politik sudah diturunkan dengan adanya putusan MK, maka seharusnyan persentase pengajuan untuk calon perseorangan juga perlu dipertimbakan untuk diturunkan, supaya ketika proses pencalonan tersandera oleh kepentingan partai politik yang pragmatis, alternatif calon perseorangan menjadi pilihan bersaing dengan calon dari parpol.
Kedua, partai politik harus menjadikan kader mereka sebagai kader yang berkualitas, mumpuni dan dikenal secara luas oleh masyarakat yang siap mengikuti pilkada, oleh sebab itu partai politik harus menjadikan pendidikan politik sebagai fungsi utama di partai politik, partai politik harus hadir ditengah-tengah masyarakat secara terus menerus, tidak hanya ada sesaat akan dilaksanakannya pemilu.
Editor : Tim Indonesiatodays